Posts

What ‘legacy’ do I have

Image
      Diiringi suara rintik hujan dengan aroma khas tanah yang dibasahinya, ditemani secangkir jahe merah hangat serta atmosfir lembabnya, membuatku seolah ingin merenung dan menulis sebagai bentuk refleksi diri.      Tak terasa waktu menunjukkan pukul 5 sore, setelah kurang lebih satu setengah jam waktu yang ditempuh dari Jakarta menuju Bekasi, pertemuanku dengan Bapak kali ini agak terasa berbeda. Kulihat sekilas detail guratan wajahnya yang semakin mengkerut, rambutnya yang mulai beruban, serta bobot tubuhnya yang tak lagi berisi seperti dulu, membuatku sadar akan pentingnya memanfatkan waktu kita yang terbatas. Anehnya, meski secara fisik tubuhnya berubah, semangat dan rasa kasih sayang Bapak terhadap keluarganya tidak berubah sama sekali.    Tentunya kita tahu bahwa hal tersebut adalah proses alamiah yang sangat normal – manusia tumbuh, berkembang, dan mengalami perubahan secara fisik – namun ada beban emosional yang tidak bisa ditawar ketika hal tersebut terjadi pada orang-orang

A complex human being

  Every person has a story, their own dreams and pains, just as valid as yours or mine.  It’s important to reflect : we’re all just trying to find our own version of happiness. -M.A   Terkadang kita lupa memberi diri kita ruang untuk menyadari ‘ketidaktahuan’ tentang berbagai hal yang terjadi. Dorongan untuk mendapatkan jawaban mengiring hati dan logika kita untuk berperang – menyimpulkan berbagai kemungkinan yang ‘seharusnya’ atau ‘semestinya’ terjadi. Ketidaksempurnaan dan keterbatasan cara berfikir kita terkadang lupa mendapat perhatian diri sendiri. Alih-alih melihat kedalam diri, kita seringkali melihat keluar, mencari objek lain sebagai pembenaran berbagai kesimpulan yang kita buat sendiri.   Begitulah kita (aku) – manusia dengan berbagai kompleksitasnya.   Hari ini, aku kembali disadarkan pada kenyataan: bahwa akan selalu ada celah bagi kita untuk berbuat suatu kesalahan baik kepada diri sendiri maupun orang lain – disadari atau tidak – yang akhirnya membentuk suat

Lessons form 2021

Image
  Adalah sebuah realitas bahwa hidup ini terus berjalan. Detik menyulam menit, menit menyulam jam, jam menyulam hari dan sereterunya – menuju ketitik dimana saat ini kita berada. Entah berapa ratus juta (atau bahkan milyar) detik waktu yang telah kita lewati untuk menghantarkan ‘diri kita’ saat ini melalui berbagai moment hidup yang sudah kita alami baik secara dualitas maupun paradoks. Adalah sebuah misteri hari-hari yang akan datang selanjutnya, entah moment apa yang akan semesta hadiahkan untuk kita atau bahkan entah pada hitungan detik ke berapa waktu memberi sinyal kepada jantung kita untuk menghentikan fungsinya yang juga mengakhiri cerita hidup kita sebagai manusia yang berkomposisi unsur, molekul, sel dan jaringan – yang bersifat mortal. Adalah kehendak Tuhan, bahwa sampai saat ini tubuh kita masih berfungsi dengan baik untuk merasakan, melihat, serta mempelajari bagaimana kita berevolusi. Pun untukku yang sampai saat saat ini masih merasa takjub mengamati bagaimana kita – umat

Antara Aku dan Senja

Image
                                               Setelah bersembunyi dibalik gumpalan awan hitam yang selalu mengundang hujan di beberapa hari belakangan ini, rupanya senja tahu diri bahwa ada jutaan penduduk bumi bernama Opacarophile   yang selalu menanti kehadirannya. Sepertiku, yang tadi sore ikut merasa damai ketika menyaksikan senja berlabuh di garis cakrawala sebelah barat dengan gradasi warna cantiknya yang perlahan memudar seolah menyambut sopan kedatangan malam yang sekaligus menggantikan perannya bersama bulan – sungguh dualitas yang kontras. Rupanya, bagi sebagian orang, menyaksikan ‘senja’ merupakan sebuah ‘ritual menghidupkan memori’ yang membuatnya merasa reflect, pause, dan hanyut bersama realitas meyaksikan keindahannya.   Pun untukku yang tengah duduk menyaksikannya – ditemani buku yang hampir selesai kubaca – terhanyut sambil memejamkan mata sejenak menjemput memori masa kecil silam, pada waktu yang sama – menjelang Maghrib’ – aku melihat diriku dengan pandangan s

Premeditatio Malorum: Sebuah refleksi tentang skenario (buruk) yang akan kita hadapi

"… all these adventitious circumstances which glitter around us, such as children, office in the state, wealth, large halls, vestibules crowded with clients seeking vainly for admittance, a noble name, a well-born or beautiful wife, and every other thing which depends entirely upon uncertain and changeful fortune, are but furniture which is not our own, but entrusted to us on loan: none of these things are given to us outright: the stage of our lives is adorned with properties gathered from various sources, and soon to be returned to their several owners: some of them will be taken away on the first day, some on the second, and but few will remain till the end. "  - Seneca   Untuk beberapa orang mimpi hanyalah sebatas ‘bunga tidur’ yang tidak memiliki arti dan korelasi dengan kehidupan nyata. Sebagian memepercayai bahwa mimipi memiliki arti tertentu yang berkorelasi kuat dengan ingatan, memori, bahkan kondisi psikologis seseorang. Dalam sudut pandang psikologi mimpi di sebut

A Humbling Mindset: value the process itself

 Suara gemercik hujan memang selalu menggodaku untuk bercerita perihal apa yang sedang ingin ku utarakan. Sesuatu yang janggal kurasakan, yang terus menerus mengganggu ketenangan hati dan pikiran. Entah apa yang salah. Tiba-tiba beberapa minggu ini terasa begitu melelahkan. Rutinitas yang jauh lebih monoton dibandingkan dengan sebelumnya; bangun subuh, mandi, berangkat kerja, pulang, mandi, tidur, lalu terbangun dan kembali melanjutkan cycle yang sama. Hari demi hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tak terasa setahun sudah. Tak terhitung seberapa sering aku mengeluhkan pekerjaan ini. Kerap kali kesana kemari untuk berbagi cerita dan mencari informasi yang seolah mem-validasi apa yang sedang aku rasakan – ironis. Menyedihkan memang; saat kita tidak tahu alasan ketidaknyaman itu hadir. Sama katika aku mengeluhkan berbagai hal kecil. Mulai dari berjalan kaki 700 m menuju halte busway setiap harinya, terkadang harus bersabar menunggu kedatangan busway yang dipenuhi desakan orang-ora

Apa kabar mimpi-mimpimu ?

Image
  S ore ini langit jakarta cerah, tak seperti hari sebelumnya yang mendung dan sendu membuatnya seolah tampak berbeda dari biasanya. Namun keduanya memiliki kesamaan yang statis – kemacetan. Ratusan kendaraan mengantri disetiap persimpangan jalan, menunggu lampu hijau menyala, wajah-wajah lelah dengan tatapan-tatapan kosongnya seolah megungkap banyak hal. Desakan tubuh manusia-manusia pejuang nafkah didalam busway dan KRL menjadi babak akhir perjuangan mereka untuk menutup hari ini dengan harapan secepatnya bisa membasahi tubuh dan berbaring menikmati malam dengan lengkungan bulan sabitnya yang indah. Namun nyatanya, beberapa dari mereka tak merasakan indahnya malam ini, beberapa tak mengharapkan kedatangan esok hari. Beberapa, terdiam. Meratapi mimpi-mimpi yang hanya menjadi sebuah catatan sejarah yang usang. Sepertiku, sosok yang kehilangan arah dimana mimpi itu berada. Apa kabar mimpi? Satu pertanyaan yang tiba-tiba muncul dan mungkin sering dipertanyakan. Kenyataan bahwa kit